Melihat sosial budaya Kalimantan Barat,
kita bagaikan melihat mosaik yang berdenyut dinamis. Bayangkan saja,
jika terdapat 164 bahasa daerah, 152 diantaranya bahasa adalah bahasa
Subsuku Dayak dan 12 sisanya bahasa Subsuku Melayu. Aneka ragam bahasa
ini dituturkan oleh sedikitnya 20 suku atau etnis, tiga di antaranya
suku asli dan 17 sisanya suku pendatang. Sejumlah adat istiadat masih
lestari di sana, terutama ketika berlangsung acara melahirkan,
peringatan tujuh bulan jabang bayi di kandungan, kematian, menanam padi,
panen, pengobatan, anisiasi, mangkok merah. Dalam kaitan itu,
nilai-nilai budaya seperti: Semangat gotong royong, religiuslitas,
kejujuran, toleransi, keadilan sosial, perdamaian, kompetisi, kritis,
dan ksatria masih tetap di pelihara di tengah-tengah masyarakat.
Dalam mengembangkan sektor ekonominya, Kalimantan Barat cukup gigih
berjuang. Beda halnya di sektor kepariwisataan. Salah satu kelemahan
turisme di provinsi ini adalah kurangnya saran dan prasarana pariwisata.
Tentu saja ini amat sangat disayangkan. Potensi ke arah lain,
sesungguhnya sangat besar, mengingat Kalimantan Barat bersebelahan
persis dengan luar negeri. Karena turisme kurang populer, maka penduduk
setempat kurang aware dengan industri satu ini. Inilah kelemahan kedua
industri turisme di Kalimantan Barat. Kondisi ini, jauh berbeda dengan
keadaan Yogyakarta atau Bali, dimana penduduknya sadar betul bahwa
mereka bisa mengais devisa yang sangat besar dari dunia pariwisata. Ke
depan, menjadi tugas pemerintah lokal mengeksplorasi potensi-potensi
wisata di provinsi ini, misalnya dengan mengembangkan sarana jalan dan
tempat-tempat penginapan di sekitar Danau Sentarum hingga danau ini bisa
menjadi sekaliber Danau Toba di Sumatera Utara.